Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menjadi salah satu isu yang mendapat perhatian publik. RUU PKS adalah upaya DPR dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual dari menangani, melindungi dan memulihkan korban, menindak pelaku serta mengupayakan agar tidak terjadi berulang.
Sampai saat ini, DPR belum mengesahkan RUU PKS, lantaran banyak poin-poin yang ada di dalamnya menimbulkan pro dan kontra. Perdebatan tersebut menarik perhatian Youth Action Beyond Limitation (YABL), lembaga pemberdayaan pemuda yang fokus pada isu-isu sosio-lingkungan hidup dan pembangunan yang berkesinambungan. Bekerjasama dengan Presiden University dan Universitas Krisnadwipayana, YABL membuat seminar nasional dan diskusi panel bertajuk “membedah mitos RUU PKS” yang diadakan di Gedung Perpustakaan Nasional Jakarta pada Kamis (21/11).
Dalam seminar tersebut hadir tokoh-tokoh kunci dalam isu advokasi hak perempuan di Indonesia antara lain Ketua Indonesian Conference on Religion and Peace Siti Musdah Mulia, Komisioner Komnas Perempuan Khariroh Ali, CEO YABL sekaligus dosen Hubungan Internasional President University Natasya Kusumawardani, Aktivis Lembaga Bantuan Hukum APIK Ratna Batara Munti dan Direktur Eksekutif Sandya Institute Diovio Alfath.
Selain membedah RUU PKS, Acara ini juga mendiskusikan mengenai peran laki-laki dalam mengadvokasikan RUU – PKS. “RUU-PKS pada dasarnya tidak hanya melindungi perempuan saja, namun juga laki-laki. Jadi peran laki-laki juga dibutuhkan dalam mengadvokasikan RUU-PKS,” ujar Diovio Alfath.
Diovio melanjutkan berdasarkan pada Pasal 1 Butir kelima dalam RUU PKS, korban didefinisikan sebagai setiap orang yang mengalami peristiwa kekerasan seksual. Poin tersebut dinilainya menegaskan bahwa perlindungan atas kekerasan dan pelecehan seksual tidak hanya terbatas bagi korban perempuan, namun juga bagi laki-laki. “Frasa ‘setiap orang’ itu netral gender. Jadi tidak eksklusif bagi perempuan saja,” katanya.
Reporter: Yusnaeni