Sekolah Sebagai Tempat Melatih dan Menjaga Demokrasi

Pendidikan adalah membangun masyarakat demokratis yang terbuka dan komunikatif.” (Tilaar)

Jakarta, 15/07/21 - “Perlu dilakukan penguatan kapasitas individu untuk menciptakan demokrasi deliberatif. Benar bahwa segala sesuatunya bisa dimulai dengan kurikulum, tetapi kurikulum tidak menjadi jawaban karena sesungguhnya jawaban atas permasalahan-permasalahan peserta didik tergantung pada interpretasi guru.”

Demikian ujar Indah Pratiwi, M.Si selaku moderator dalam acara webinar diskusi tematik dan peluncuran buku yang diselenggarakan oleh Puslitjak Kemendikbudristek pada Rabu (30/6) bertajuk “Membentuk Warga Negara Yang Demokratis Melalui Pendidikan”.

Acara tersebut menghadirkan narasumber Prof. Dr. Firman Noor, M.A., Kepala Pusat Penelitian Politik – LIPI, Lukman Solihin, MA., Peneliti dari Puslitjak Kemendikbudristek, Anggi Afriansyah, M.Si., Peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan-LIPI, dan Satriawan Salim, M.Si., Guru PPkn di Lab. School Jakarta dan Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru.

Webinar ini diselenggarakan sebagai apresiasi terhadap peluncuran buku “Membentuk Warga Yang Demokratis: Konstruksi Literasi Kewargaan Dalam Mata Pelajaran PPKn”. Buku tersebut ditulis berdasarkan hasil kajian yang dilakukan terhadap Literasi Kewargaan. Buku ini penting sebagai input kurikulum khususnya mata pelajaran PPKn.

Melatih Demokrasi Sejak Dini

Dalam sambutannya, Plt. Kepala Puslitjak Irsyad Zamjani, Ph.D mengatakan bahwa memberikan dan menanamkan nilai-nilai demokrasi kepada setiap warga negara perlu dilakukan mulai sejak dini khususnya melalui bangku sekolah.

Kegiatan tersebut juga dibuka secara resmi oleh Kepala Balitbang dan Perbukuan Kemendikbudristek Anindito Aditomo, Ph,D. Pada kesempatan tersebut, ia menegaskan bahwa pendidikan untuk demokrasi merupakan bagian esensial dari cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia. “Demokrasi merupakan visi yang sangat luar biasa, karena memuliakan pendapat orang per orang dalam pengambilan keputusan melalui musyawarah,” terang Anindito.

Karenanya, ia menegaskan pentingnya kesempatan bagi siswa untuk dapat mempraktikkan nilai-nilai demokrasi di sekolah. “Mata pelajaran PPKn harus bisa menyiapkan siswa-siswa untuk berdebat, berdiskusi secara terbuka dan objektif untuk bermusyawarah”, lanjutnya.

Santapan Tirani dan Target Oligarki

Dalam paparannya, Firman Noor menjelaskan pentingnya pendidikan untuk memperkuat demokrasi sebagai soko guru menopang kehidupan demokrasi. Sebaliknya karakteristik demokrasi paling kondusif untuk menghadirkan pendidikan yang baik. Dalam konteks demokrasi, jika pendidikan tidak berjalan dengan baik, maka akan menciptakan ignore people yang menjadi santapan tirani dan target oligarki.  

Tujuan dari pendidikan politik dan demokrasi adalah meningkatkan pemahaman dan kesadaran atas nilai-nilai demokrasi untuk menjadikan warga negara tidak lagi sebagai ignore people. Pendidikan seharusnya membawa mereka menjadi makhluk yang independen dan memiliki bargaining position terhadap penguasa.

Sebab demokrasi hanya akan berhasil jika yang dipimpin dan memimpin yang kualitasnya equal. Oleh karena itu, melalui pendidikan politik kewargaan dan demokrasi, diharapkan menghasilkan warga negara yang sadar akan nilai-nilai demokrasi: seperti penghargaan atas kebebasan, persamaan hak, penghargaan terhadap keberagaman, musyawarah, toleransi dan penegakan hukum.

Warga Negara Yang Cerdas Dan Berdaya

Seolah menanggapi penjelasan Firman dalam paparannya, Lukman Solihin menampilkan hasil analisis yang dilakukannya bersama tim tentang konstruksi Literasi Kewargaan dalam mata pelajaran PPKn terhadap buku siswa dan buku guru mata pelajaran PPKn pada semua jenjang Pendidikan dari SD, SMP, dan SMA. Analisis dilakukan berdasarkan kerangka pemikiran yang dibagi dalam tiga kelompok, yakni aspek democracy and law, aspek human rights and citizenship, aspek civil society.

Ternyata, muatan literasi kewargaan untuk SD dari aspek democracy and law sedikit, yakni hanya 2 persen, aspek human rights and citizenship sebanyak 22 persen, dan didominasi oleh civil society dengan presentasi sebanyak 76 persen. Pada jenjang SMP ketiga aspek tersebut relatif berimbang, yakni aspek democracy and law sebanyak 38 persen, aspek human rights and citizenship sebanyak 37 persen dan aspek civil society berkurang, hanya sebanyak 25 persen. Selanjutnya pada jenjang SMA didominasi aspek democracy and law sebanyak 68 persen, aspek human rights and citizenship sebanyak 31 persen, dan aspek civil society paling sedikit hanya 1 persen.

Dari hasil analisis tersebut, Lukman menambahkan bahwa berdasarkan ketiga aspek analisis, secara substansi, materi Pendidikan Kewarganegaraan cenderung tidak berimbang pada semua jenjang pendidikan, pembahasan materi tidak kontekstual, tidak berimbang dan kurang eksploratif, dan terdapat redudansi yang sangat identik tanpa pendalaman yang berarti.

 “Sebab Pendidikan Kewarganegaraan menjadi salah satu mata pelajaran dalam rangka upaya meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap demokratis agar warga negara dapat berpartisipasi dan membangun kehidupan demokratis yang lebih baik,” ujarnya.

Dengan demikian, demokrasi di Indonesia secara formal sudah ada dan benar-benar terjadi. Namun, untuk menumbuhkan politik kewargaan, termasuk kaitannya dengan upaya menumbuhkan literasi kewargaan, tampaknya masih menjadi PR bagi bangsa ini, sebab warga yang cerdas dan berdaya adalah kunci menuju demokrasi yang substantif. “Dengan warga yang berdaya dan equal, pendidikan cukup baik, cerdas, akan melahirkan demokrasi lebih baik,” tambah Lukman saat mengakhiri paparannya.

Membangun School Culture 

Dalam konteks kewarganegaraan, pendidikan menjadi bagian penting untuk membangun tanggung jawab sipil dan membuat manusia memiliki kesadaran penuh untuk menyadari bahwa mereka perlu mencapai kedewasaan berdasarkan pengakuan orang lain dan ada kesederajatan.

Dalam konteks iklim di Indonesia, narasi tekstual berbasis regulatif sudah banyak menyebutkan tujuan pendidikan, salah satunya dalam pembukaan UUD 1945. Masalahnya yakni terdapat kesenjangan yang sangat jauh antara derajat yang tertulis secara tekstual dengan konteks praktikal dalam dunia pendidikan.

Untuk mengatasi masalah tersebut sangatlah penting bila sekolah membangun school culture. Itu dibangun dalam konteks internalisasi nilai-nilai dan relasinya, serta adanya pengakuan terhadap heterogenitas, keragaman, juga membangun dialog dengan basis kesetaraan, kepecayaan, rasa hormat dan empati.

“Pedagoger kritis sering mengkritisi bahwa seharusnya ruang kelas dan pendidikan itu sebagai ranah dialog. Tentu untuk melihat hal tersebut sangatlah terbatas, sebab tidak semua sekolah punya ruang di mana guru bisa dikritisi oleh siswanya, atau siswa mengkritisi program sekolah atau membangun aturan sekolah atas dasar kesepakatan bersama. Oleh karena itu pedagogi kritis tidak hanya untuk belajar tetapi juga harus ada aksi kritisnya,” jelas Anggi Afriansyah dalam paparannya.

Kesadaran Kritis Harus Muncul di Sekolah

Dari sisi praktisi, sebagai guru mata pelajaran PPkn, Satriawan Salim membagikan pengalamannya terkait mengajar mata pelajaran PPKn dan menanamkan nilai-nilai demokrasi selama mengabdi di Lab. School Jakarta. Pendidikan kewarganegaraan tidak hanya berupa mata pelajaran, tetapi seluruh aktivitas kewargaan yang dilakukan oleh warga negara.

Dulu mata pelajaran PPKn menjadi mata pelajaran yang kurang diminati oleh para siswa. Banyak faktor yang mempengaruhinya, bisa jadi karena gurunya, materi pelajarannya atau kontennya kurang menarik, atau mungkin juga materi yang terlalu padat. Sesungguhnya mata pelajaran PPKn yang sangat menarik karena berkolerasi dengan banyak mata pelajaran dan mengangkat fenomena yang ada di masyarakat.

Di sekolah pembelajaran demokratis terdapat dalam mata pelajaran PPKn dan demokrasi itu bisa tumbuh sepanjang memenuhi prinsip-prinsip, yakni kesadaran kritis, Inklusif, kemerdekaan bertanggungjawab, keterlibatan, dialogis, kesetaraan, dan saling menghargai.

“Di kelas PPKn itu yang paling penting adalah membangun kesadaran kritis. Kesadaran kritis harus muncul di sekolah dan ruang belajar antara guru dan siswa,” demikian ujar Salim. Paulo Freire dalam bukunya yang berjudul “Menjadi Guru yang Merdeka” mengatakan bahwa menjadi guru yang merdeka itu dapat menumbuhkan kesadaran kritis pada murid.

Jadi merdeka belajar mesti diawali dari guru yang merdeka dan murid yang merdeka, yakni merdeka dalam berpikir dan merdeka dalam bersikap. Dalam bukunya tersebut, Paulo Freire menambahkan bahwa kesadaran kritis adalah sadar dengan penuh apa yang seharusnya dilakukan, melihat sesuatu permasalahan tidak hanya dari rantingnya saja tapi sampai ke akar-akarnya, serta dengan sadar melakukan tindakan.

“Kesadaran kritis dapat dibangun atas dasar relasi antara guru, siswa dan lingkungan sekolah. Jadi pembelajaran yang demokratis harus ada dan terjadi pelibatan anak-anak baik dalam perencanaan, pelaksanaan maupun dalam evaluasi program sekolah. Jangan meremehkan suara anak, dan berikan penghargaan kepada anak,” Tegas Salim.

Di tempat Salim mengajar, setiap tiga bulan sekali melalui forum OSIS, forum MPK siswa diberi waktu untuk mengkritik guru, mengkritik manajeman sekolah, memberikan masukan, saran evaluasi terhadap apapun yang kaitannya dengan kebijakan di sekolah mulai dari fasilitas, dana BOS, dana POP, sampai guru yang mengajar di dalam kelas dan program tersebut sudah berjalan sepuluh tahun.

Salim juga merefleksikan praktik baik lainnya yang dilakukan selama mengajar, yakni kemerdekaan anak membaca buku, tidak ada toleransi terhadap bullying, memperkuat digital literacy, project based learning, perbanyak projek kolaborasi civic projects, perbanyak ruang perjumpaan, trip observasi atau Live in, percaya kepada anak, dan mengangkat kisah faunding fathers-mothers yang inspiratif, berdasarkan realitas sosial, dan memuat refleksi.

Mengakhiri paparannya, Salim membayangkan sekolah-sekolah di indonesia, dari Sabang sampai Marauke, mayoritas masih tertutup dalam hal transparansi. “Apakah siswa tahu bagaimana pengelolaan tentang dana BOS?  Menurutnya yang seharusnya terjadi adalah adanya dorongan untuk guru harus tahu bagaimana pengelolaan dana BOS dan dana POP, bagaimana pertanggungjawabannya. Sebab demokrasi itu tidak akan berjalan tanpa transparansi dan akuntabilitas. Tapi agaknya sekolah masih punya PR terhadap terlaksananya transparansi dan akuntabilitas kepada pesderta didik termasuk kepada guru,” ujar Salim.  

Materi webinar, buku “Membentuk Warga Yang Demokratis: Konstruksi Literasi Kewargaan Dalam Mata Pelajaran PPKn”, dan informasi lainnya, dapat diakses melalui https://puslitjakdikbud.kemdikbud.go.id atau tayangan ulang melalui akun Youtube Balitbang Kemdikbud.

 

Penulis : Linda Efaria

Editor: Jacko Ryan