Pernikahan Anak Meningkat, Masyarakat Perlu Berperan Aktif

Jakarta, 10/06/21 - Pandemi COVID-19 membawa dampak pada meningkatnya praktik pernikahan anak. Berbagai keadaan seperti faktor ekonomi, kehamilan di luar nikah, menghindari perzinahan, hingga kebijakan belajar dari rumah menjadi sebab maraknya pernikahan anak di Indonesia.

Fenomena ini tercatat meningkat sejak beberapa tahun lalu. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2018 menyebutkan bahwa 1 dari 9 anak Indonesia sudah menikah sebelum usia 18 tahun. Karena itu, Indonesia masuk dalam peringkat 10 besar negara yang memiliki angka prevalensi menikah yang tinggi.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan ini. Salah satunya dengan kebijakan meningkatkan batasan usia minimal menikah menjadi 19 tahun. Namun, hal tersebut dinilai tidak cukup.

Manajer Advokasi Wahana Visi Indonesia Junito Drias mengatakan bahwa pemerintah perlu menangani kemiskinan struktural agar praktik pernikahan anak dapat menurun. “Perlu kebijakan pemerintah untuk mengadakan akses ekonomi, pendidikan, dan perlindungan supaya orangtua tidak memandang perkawinan sebagai jalan keluar masalah ekonomi atau persoalan seperti kehamilan usia anak,” kata Drias.

Melawan Stigma

Tidak dipungkiri, masih banyak terdapat stigma di masyarakat yang secara tidak langsung mempengaruhi terjadinya pernikahan anak. Misalnya seperti pemikiran tradisional yang menilai bahwa anak perempuan harus cepat dinikahkan, perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan tinggi, hingga berbagai pandangan lain yang dapat berdampak buruk pada anak. 

Inilah mengapa mengubah pola pikir masyarakat juga menjadi agenda yang perlu dilakukan. Koordinator Nasional Gusdurian Network Alissa Wahid menilai bahwa hal tersebut dapat diusahakan melalui kolaborasi yang melibatkan berbagai pihak. “Penguatan melalui kerja-kerja organisasi masyarakat sipil. Penting untuk bergerak bersama dan meningkatkan kapasitas para pemimpin lokal, para guru, pemimpin muda, dan para pemimpin agama,” ungkapnya dalam Webinar Internasional World Vision Asia Pasifik bertajuk “Too Young To Marry” pada Selasa (8/6).

Pemberdayaan Anak

Selain itu, upaya pencegahan pernikahan anak juga harus menyasar langsung kepada orang tua dan anggota keluarga. Hal ini diungkapkan oleh Refi (16), dari Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah yang berpendapat bahwa pernikahan anak tidak akan terjadi jika orang dewasa dapat mendampingi dan memberi pengetahuan yang benar kepada anak-anak.

Refi sendiri merupakan salah satu anak yang didampingi oleh Wahana Visi Indonesia (WVI), sebuah organisasi kemanusiaan yang berfokus pada upaya pemberdayaan anak, keluarga dan masyarakat rentan sejak tahun 1998. Dalam hal pencegahan pernikahan anak, WVI bergerak untuk terus melakukan sosialisasi, edukasi, hingga pemberdayaan masyarakat di 14 provinsi. WVI juga telah melakukan advokasi kebijakan di tingkat lokal maupun nasional.

Melihat berbagai dampak yang dihasilkan, sudah seharusnya masyarakat menilai bahwa pernikahan anak merupakan permasalahan penting yang harus segera diselesaikan. “Merupakan tanggung jawab kita bersama untuk melindungi mereka, memelihara mereka, mempersiapkan mereka, sampai mereka siap menghadapi masa depan mereka. Ini bukan tentang mereka anak-anak. Mengakhiri pernikahan anak adalah tentang kita," kata Alissa.

(Jacko Ryan)