Memperkuat Tafsiran Mahkamah Konstitusi sebagai Penafsir Akhir Konstitusi

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (“MKRI”) adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD NRI 1945”). Lebih tepatnya, MKRI memegang peranan krusial dalam menjalankan fungsi untuk menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi, sesuai yang dijelaskan di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU MKRI”). Terhadap fungsi yang begitu fundamentalnya bagi ketatanegaraan Indonesia, MKRI sayangnya tidak memiliki ‘taring’ yang tajam untuk mengejawantahkan tafsirannya terhadap konstitusi.

           ‘Taring’ yang tajam ini terlihat dari kekuatan eksekusi pada putusan yang dikeluarkan oleh MKRI.  Pertanyaan simpel dapat dengan mudah kita susun untuk mengetahui ketidaktajaman ‘taring’ MKRI selaku final interpreter of the constitution atau penafsir akhir konstitusi. Pertanyaan tersebut adalah: “Apa implikasi hukum yang dapat secara nyata terjadi apabila putusan MKRI tidak dilaksanakan?” Nyatanya, bahkan UUD NRI 1945 sendiri tidak memberikan petunjuk apa pun terkait upaya untuk memastikan putusan MKRI ditaati dengan baik oleh pejabat dan/atau lembaga yang telah bersumpah untuk melaksanakan konstitusi. UUD NRI 1945 terkesan ‘bisu’ untuk menanggapi isu ini.[1]

           Sebagai penafsir akhir konstitusi, tidak ada pihak/lembaga lain yang dapat memberikan tafsiran resmi dan final terhadap UUD NRI 1945 selain MKRI sendiri. Namun, tafsiran MKRI yang sejatinya harus ditaati oleh setiap insan warga negara di Indonesia ini ternyata tidak sama istimewanya dengan kedudukan MKRI sebagai penafsir akhir konstitusi. Bagaimana tidak? MKRI tidak memiliki perangkat hukum untuk menegakkan pelaksanaan putusannya sebagaimana badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agung memiliki panitera atau juru sita pengadilan untuk menjalankan eksekusi putusan hakim. Selain itu, tidak ada sanksi pidana dan/atau sanksi apa pun yang dapat menjerat lembaga yang tidak mematuhi isi putusan MKRI.

           Adapun ‘pendorong’ yang memotivasi lembaga-lembaga terkait untuk mematuhi isi putusan MKRI ketika hendak mengevaluasi undang-undang yang ada ialah hanya didasarkan pada ‘komitmen tingkat tinggi’ sebagaimana dikemukakan oleh Tyesta, Purwanti dan Adissya (2021).[2] Padahal, putusan MKRI terbukti berpotensi untuk merekayasa dinamika administrasi pemerintahan di Indonesia.[3] Tanpa adanya ‘taring’ yang tajam untuk memperkuat pelaksanaan putusan MKRI, kewenangan MKRI untuk melaksanakan judicial activism dalam rangka menjaga marwah ketatanegaraan akan menjadi kontraproduktif. Hal ini dikarenakan tidak adanya mekanisme hukum untuk memastikan putusan MKRI terlaksana dengan tuntas, yang mana membuat judicial activism (sebagai suatu konsep alternatif yang dapat digunakan oleh lembaga pengadilan untuk memperkuat kedudukan pandangan hakim sebagai fitur sentral dalam tatanan politik dalam rangka mengevaluasi suatu norma)[4] menjadi sia-sia.

           Oleh karena itu, MKRI perlu diperkuat dengan adanya kelengkapan perangkat hukum berupa juru eksekutor pelaksanaan putusan MKRI yang mendapatkan perhatian penuh dari konstitusi dalam bentuk pengaturan yang lebih komprehensif. MKRI adalah penafsir akhir konstitusi, tetapi sayangnya saat ini MKRI bukanlah penentu akhir dari nasib putusannya sendiri. Penentu akhir ini masih bersandar pada pundak kebijaksanaan masing-masing lembaga terkait, yang mana MKRI sendiri tidak dapat memaksakan kehendaknya. Perangkat hukum berupa juru eksekutor pelaksanaan putusan MKRI tidak hanya akan memperkuat marwah MKRI selaku penafsir akhir konstitusi, tetapi juga menjaga tatanan ketatanegaraan dalam menghormati tafsiran MKRI selaku penafsir akhir tersebut.

[1] Petra Stockmann, The New Indonesian Constitutional Court: A study into its beginnings and first years of work (Jakarta: Hanns Seidel Foundation, 2007): hlm. 23.

[2] Lita Tyesta, Ani Purwanti, dan Adissya, “Execution of Constitutional Court Verdicts in Achieving a Constitutional Rule of Law in Indonesia,” Journal of Legal, Ethical and Regulatory Issues, 24(2) (2021): hlm. 1.

[3] Proborini Hastuti, "Shifting the Character of the Constitutional Court Decision Influenced by Political Constellation in Indonesia," Constitutional Review, Volume 5, Nomor 2 (2019): hlm. 330.

[4] Prafullachandra Natwarlal Bhagwati, "Judicial activism and public interest litigation." Columbia Journal of Transnational Law 23 (1984): hlm. 561.

Sumber foto: Bagusindahono/EPA (theconversation.com)

Abdurrahman Al-Fatih Ifdal