Melihat Isu Perubahan Iklim dari Perspektif yang Berbeda

Dalam beberapa bulan terakhir, beberapa media televisi nasional seperti seakan berkomplot dalam mendistorsi isu yang sama berulang kali, setiap hari: polusi dan kualitas udara Jakarta yang kian kritis. Ya, awalnya trending topic soal polusi udara di Jakarta yang kian memburuk dan jadi juara dunia ini didiskusikan dengan masif di beragam media sosial. Sebuah tagar pun dibuat sebagai bentuk sarkasme para penghuni ibu kota yaitu #SetorFotoPolusi yang pada akhirnya memantik media besar untuk membahas juga soal isu ini.

Tren ini justru bentuk framing yang sia-sia karena rasanya setiap orang yang menghirup udara Jakarta tentu tahu risiko dari setiap tindakan mereka. Bahkan, banyak juga yang tidak hanya peduli udara Jakarta, tapi pencairan es kutub dan isu-isu global yang lebih besar; mereka dan semua orang tentu peduli. Tapi, mengapa sampai saat ini rasanya tidak pernah ada perubahan yang signifikan? Mungkin, kita selalu melihat dari sudut pandang yang salah.

Sejak isu perubahan iklim mencuat di tahun 1990-an, sebagian besar pihak selalu mengandalkan satu narasi doom and gloom dengan harapan memicu ketakutan, rasa bersalah, dan malu yang pada akhirnya akan memotivasi kita untuk bergerak. Namun, rasanya pendekatan ini sudah usang dan harus secepatnya ditarik keluar dari pembahasan. Alasannya: kita tahu dari aspek psikologi, rasa bersalah dan takut ternyata tidak konduktif pada kedekatan dan ikatan. Itu justru membuat kita menjadi pasif karena cenderung menarik diri dari isu dan mencoba untuk memikirkan sesuatu yang membuat kita lebih nyaman (De Hooge. Et. Al, 2018: 1671-1677).

Karena itu, menurut survei YouGov tahun 2020, Indonesia berada di peringkat 1 ketidakpercayaan terhadap isu perubahan iklim. kebanyakan merasa bahwa ini masalah yang jauh. Jauh dalam aspek waktu karena dampaknya baru akan terasa beberapa generasi kedepan; jauh dalam aspek ruang, bahwa ini hanya menyoal beruang kutub kelaparan atau negara-negara di Afrika.

Namun, ini bukan karena kita tidak peduli, tapi karena masalah ini memang begitu kompleks dipahami. Meskipun kita sudah mempunyai preseden soal strategi melawan krisis lingkungan—penipisan ozon—yang cukup berhasil, isu perubahan iklim jauh lebih menjebak. Alih-alih berkutat pada satu penyebab yang konkret, hampir semua penyebab perubahan iklim merupakan zat tak kasat mata—CO2, NH4, NO2, dll—sehingga kita bahkan tidak menyadari keberadaannya.

Kini, mari fokus membahas salah satu penyebab utamanya: penggunaan energi listrik.

Kita mungkin menyadari bahwa listrik adalah objek tak kasat mata, tidak terhitung, terlihat atau tersentuh. Tapi beberapa tahun terakhir, sebuah perusahaan bernama Opower menggagas sebuah pendekatan yang cukup brilian. Ia bekerja sama dengan penyuplai energi listrik di 8 negara Eropa dan Amerika untuk memonitor penggunaan energi setiap rumah dan mengirimkan laporan setiap bulan kepada pemiliknya.

Setiap rumah akan diberikan daftar peringkat rumah dengan penggunaan energi paling efisien hingga boros di lingkungan tersebut. Mengejutkannya, pendekatan ini membuat penggunaan energi di kawasan-kawasan tersebut menurun 19%-38%. Sekarang, Opower telah berhasil menghemat energi listrik 2 terawatt, setara dengan penggunaan energi Kota Jakarta selama 1 tahun penuh. Faktanya, Opower bisa membuat energi listrik ‘nampak’ bagi penggunanya, dan membuat mereka akhirnya bertindak.

Karena pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial. se-individualistik apapun yang kita bisa, ternyata kita peduli pada bagaimana kita dibandingkan dengan orang lain. Dan ya, kita tentu ingin jadi yang terbaik. Kebanyakan orang tidak akan merasa cukup berada di rata-rata.

Pendekatan tersebut sangat mungkin untuk diterapkan di kota-kota besar Indonesia. Selain soal penggunaan listrik, kompetisi ini juga bisa dibangun lewat monitor penggunaan bahan bakar dan emisi CO2 setiap kendaraan; atau penghargaan besar bagi karyawan kantor-kantor pemerintah yang secara kontinu menggunakan transportasi publik.

Pendekatan-pendekatan sosial yang ‘nyeleneh’ ini faktanya memajukan cara pandang banyak orang sebagai satu komunitas yang kolektif dalam menghadapi perubahan iklim. Meskipun perubahan perspektif ini hanya bentuk permulaan, semua tahu masalah ini tak semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan semua orang untuk berkontribusi, mengubah kebijakan, cara kerja, hingga metode berkendara. Ini, soal perubahan skala besar. Dan ternyata, bagian dari perubahan ini sesederhana menerima apa yang mendefinisikan kita sebagai manusia. Bahwa ini tidak bisa melulu membahas soal beruang kutub sekarat di artik atau berkendara dengan tabung penghasil polusi udara.

Setiap orang juga harus mulai membicarakan soal kemenangan—seperti bagaimana para insan muda menghasilkan banyak progres yang menjanjikan, sepenuhnya akuntabel akan energi yang digunakan, dan memanfaatkan spirit berkompetisi untuk sepenuhnya menggeser pandangan semua dari tahap empati menuju tahap aksi.

Foto: Kementerian LHK RI
Penulis: Novanza Rayhan Natasaputra