Kontes Kepemimpinan AS-Cina Pra dan Pasca Pandemi

 

 

Kontes kepemimpinan AS-Cina dalam kepemimpinan global merupakan sebuah hal yang tidak terelakan. Istilah contested leadership atau kontes kepemimpinan dipopulerkan oleh Daniel Flemes, seorang ilmuwan hubungan internasional dari Jerman yang menyebutkan jika ada dua raksasa dalam satu kawasan dan saling bersaing maka akan terjadi perebutan kepemimpinan. Dua raksasa yang dilabeli sebagai major power merupakan pemain penting dalam percaturan politik global. Kontes ini akan berdampak pada kondisi politik global, dinamika politik yang terjadi di kawasan baik secara domestik maupun bilateral. Bahkan tidak dapat dipungkiri, dinamika di organisasi kawasan juga dapat terpengaruh seperti Liga Arab ketika perang di Suriah meletus maupun NATO ketika perang Rusia-Ukrania terjadi. Hal-hal tersebut tidak terlepas dari aksi politik luar negeri AS maupun Cina terkait konflik yang terjadi. 

 Kontes kedua raksasa ini mulai memanas ketika Trump dan Xi Jinping berkuasa, walaupun tidak secara langsung berkonfrontasi untuk aspek militer akan tetapi banyak negara yang menjadi “buffer zone” atau “proxy” dari kontes kedua negara ini. Memang pada saat Trump berkuasa sebagai Presiden AS, istilah perang dagang digaungkan terhadap Cina, sehingga terjadi aksi balasan terhadap produk-produk AS yang masuk ke Cina termasuk dengan strategi devaluasi Yuan yang berupaya untuk memberikan insentif terhadap eksportir sehingga barang-barang Cina masih tetap bisa bersaing di pasar AS. 

 Pada saat pandemi terjadi, perang urat syaraf dari Xi Jinping maupun Trump tidak dapat dielakkan, saling tuduh dan saling menyalahkan terkait penyebaran pandemi yang terjadi secara global untuk menarik simpati negara lain. Dua negara ini juga berlomba untuk saling mengirimkan bantuan ke negara yang membutuhkan dan juga berupaya menjadi pahlawan dengan menemukan vaksin untuk Covid-19 sebagai penangkal dari penyakit tersebut. 

 Dari sisi ekonomi, kedua negara mengalami kerugian yang cukup banyak akibat adanya pandemi Covid-19, baik dari segi pertumbuhan ekonomi yang melambat, kenaikan jumlah pengangguran dan kemiskinan serta pemulihan ekonomi yang mendapat tantangan dari tingginya inflasi serta melemahnya mata uang masing-masing. Ditambah dengan adanya perang Rusia-Ukraina yang membuat harga energi global menjadi sangat tinggi padahal pemulihan ekonomi pasca-pandemi masih berlangsung. 

 Hal yang menarik adalah yang terjadi setelah ini, kebijakan ekonomi AS yang berpengaruh terhadap perekonomian global terutama kebijakan The Fed (Bank Sentral AS) yang sangat menentukan nilai dollar AS. Pada saat ini, dollar AS masih menjadi mata uang utama dalam perdagangan global, sehingga akan sangat berpengaruh kepada rantai pasok global. Baik dari sektor pangan, energi, kesehatan, teknologi dan segala sektor yang sudah terkoneksi secara global akan berdampak kepada perekonomian sebuah negara. Kebijakan AS yang terus menaikan suku bunga untuk menekan inflasi dan memperkuat dollar AS memang bertujuan untuk memperkuat fondasi ekonomi AS. 

 Akan tetapi Cina tidak tinggal diam melihat hal tersebut, China menjual Sebagian cadangan devisanya dalam bentuk Dollar AS dan menggantinya dengan emas. Aksi tersebut membuat dollar AS tidak sekuat seperti yang diprediksikan The Fed, bahkan kalau melihat ukurannya nilai tukar Rupiah terhadap dollar AS, sebelumnya bisa menembus sampai 15.600-15.700 rupiah per 1 dollar AS akan tetapi sekarang di kisaran 14.900-15.000 rupiah per 1 dollar AS. 

Tentu, kontes ini tidak akan berhenti disini saja dapat berkembang ke aspek lain yang lebih fundamental bahkan ke arah perang “proxy” yang baru juga sangat mungkin terjadi. AS dan Cina akan sama-sama mengerahkan segala cara untuk bisa menggolkan kepentingan nasionalnya dan menang dalam kontes ini. Aspek digital bahkan militer terutama akan menjadi ladang baru dari kontes ini setelah sebelumnya bersaing di bidang perdagangan dan kesehatan. 

 Dengan keadaan tersebut, Indonesia selayaknya bisa mengantisipasi “tarian-tarian” para raksasa ini agar tidak seperti pepatah kita yaitu menjadi pelanduk yang mati diantara dua gajah yang bertarung. Seharusnya menjadi penjinak gajah-gajah tersebut agar kepentingan nasional dapat tercapai dan keamanan Indonesia masih terjaga. Aspek ekonomi yang sekarang sedang disorot perlu diperkuat lebih kuat lagi menghadapi tantangan global yang lebih dinamis ke depannya sembari memperkuat aspek militer dan lainnya yang bisa dikerahkan potensinya ketika kemungkinan buruk terjadi akibat adanya ketidakpastian global di masa yang akan datang.      

Affabile Rifawan, Dosen FISIP UNPAD